Monyet dengan tunggangan ala moge(Video Youtube Hendy Utoy)
“Tingnong..tingnong...Tangtung...tangtung...Derrr.deeerrr....”
Suara bertalu talu gamelan mengiringi atraksi
topeng monyet yang berjumpalitan seraya membawa gerobak, berganti kemudian
monyet kecil membawa keranjang dan di sebut sebagai atraksi yang legenda bingit
yakni Sarimin pergi ke pasar. Bocah bocah kecil merubung di sertai tawa dan
juga jeritan ketakutan taktala si monyet hampir saja menyentuh mereka. Yup
topeng monyet menjadi sebuah tontonan yang biasa dalam masyarakat kita pada
umumnya, monyet di ajarkan untuk mengikuti instruksi pawang dan melakukan
gerakan gerakan mirip manusia seperti pergi ke pasar, membawa peralatan
pertanian seperti cangkul cangkulan dan bahkan kini topeng monyet pun bisa
menaiki moge lho.
Tapi di
balik kelucuan atraksi topeng monyet ada hal yang sangat membuat kita trenyuh,
monyet tak serta merta bisa melakukan semua atraksi, perlu latihan agar monyet
itu bisa berjumpalitan, meniru gerakan ke pasar atau perintah perintah lainnya.
Pernah melihat sebuah tayangan tivi di mana di saikan gambar saat monyet itu
berlatih, beberapa pukulan akan di hadiahkan si pelatih bila si monyet gagal
melaksanakan perintah pelatih, maka kengerian pun terlihat jelas, dengan
latihan spartan dan juga kekangan rantai besi, terlihat monyet tersebut sangat
menderita.
Konon
setelah monyet itu terampil harganya pun akan melambung, nilai jual si monyet
akan menjadi tinggi dan mulailah si monyet pun mengamen dan juragannya pun akan
menanggung pundi pundi rupiah. Dari semua itu ternyata motif ekonomi yang
berhubungan dengan uang menjadi tujuan walau efek penderitaan si monyet acapkali
terabaikan. Dalam skala kecil penderitaan monyet akan terus berulang lagi dan
lagi.
Entah kalau
binatang binatang lain di pertunjukan sirkus misalnya yang melibatkan banyak
sekali hewan hewan dari yang kecil hingga hewan hewan besar seperti kuda
ataupun singa atau simpanse yang biasanya menjadi bintang pertunjukan di dalam
sebuah atraksi sirkus.
Hewan hewan
yang semestinya berada di alam liar dan menikmati hutan dengan segala isinya,
di tangkap dan berujung ekploitasi dari para hewan agar pundi pundi uang
bertambah, sungguh miris sih tapi itulah realita yang ada di masyarakat.
Pernah
melihat si monyet yang terlihat kepayahan karena harus mengikuti majikannya,
dengan menaiki motor motoran yang mirip motor gede atau moge, jalanan harus di
lalui sambil “naik motor” yang di tarik si majikan topeng monyet, tak benar
benar naik motor sih karena satu kaki si monyet harus mendayung agar motor
tidak jatuh, dapat di bayangkan betapa pegalnya kaki si monyet yang harus
menyeimbangkan badannya agar tak terjatuh dari motor, belum lagi kekangan
rantai yang membatasi gerak dari si monyet.
Kalaupun ada
jeda untuk istirahat, paling pol si monyet di hadiahi beberapa butir kacang
untuk mengganjal lapar, sedangkan duit yang terkumpul di ambil oleh sang
juragan. Di balik drama topeng monyet yang kita saksikan sehari hari, ada
penderitaan dari makhluk Tuhan, dan ternyata kreator dari penderitaan itu
adalah manusia yang sering di anggap sebagai makhluk yang paling sempurna di
muka bumi.
“Tingnong...tingnong...Tangtung....tangtunnng....Deerrr...deeeerr!”
Suara
gamelan ala topeng monyet mengalun, maka akhirnya meski kelelahan monyet pun
tetap melakukan atraksi dan akan begitu seterusnya sepanjang hayat si monyet,
dengan makanan seadanya dan tentu letih mendera, monyet malang itu berkeliling
untuk menghibur manusia, adakah hati nurani manusia terbersit rasa iba? Gue sih
sedih aja melihat ekploitasi hewan yang terus berlangsung, dengan tulisan ini
yuk mulai peduli untuk tidak menonton atraksi yang melibatkan hewan, kamu
setuju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar