Melimpahnya usia produktif yang akan terjadi dalam tahun 2030 dan di
sebut puncak dari bonus demografi Indonesia, di saat kelompok usia produktif
akan menjadi bagian penting bagi pertumbuhan ekonomi. “Tahun Emas” dari bonus
demografi adalah bersiapnya manusia manusia yang mampu mengoptimalkan kemampuan
secara skill dan kompetensi agar bisa bersaing di era milenial.
Namun yang patut kita khawatirkan di saat ini adalah,
mampukah bonus demografi yang di miliki bangsa Indonesia, di iringi persiapan
yang mumpuni, adakah nanti di era 2030-2035 sumber daya manusia yang melimpah
itu mampu memiliki daya cipta dan juga kreasi serta membuat inovasi inovasi dan
berpikir secara kritis? Mampukah kita berada di tahun bonus demografi bisa
memanfaatkan celah kesempatan dalam persaingan global. Di lain pihak kita pun
cukup risau dengan angka yang di sodorkan Badan Kesehatan Dunia yang
menyebutkan bahwa angka stunting di Indonesia menduduki urutan kelima jumlah
anak dengan kondisi stunting.
Balita Indonesia terancam derita stunting(poto dari sumber katadata.co.id)
Sebagian besar dari kita belum paham sepenuhnya apa itu
stunting, padahal stunting merupakan pekerjaan rumah yang mesti kita bereskan
bersama. Stunting merupakan adalah kondisi gagal tumbuh pada balita karena
masalah gizi kronis, stunting benar benar hantu yang nyata bagi bangsa
Indonesia. Angka stunting di negara kita mencapai 37% atau meliputi 9 juta anak
di seluruh wilayah Indonesia, di wilayah Pulau Jawa terdapat 4.353.000 anak,
wilayah Sumatera di kisaran angka 2.296.000, untuk wilayah wilayah lain seperti
pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua dan Maluku angka stunting bervariasi
mulai di angka seratus ribuan hingga tuju ratus ribuan anak yang mengalami
stunting.
Stunting Di
Antara Pemahaman Gizi Dan Mitos Yang Terjadi
Jangan salah kaprah soal mitos yang berkembang dan merugikan bayi(dokpri)
Angka stunting yang di tetapkan WHO adalah di bawah 20
persen, ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian terkait seperti
Kementerian Kesehatan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
Kementerian Sosial, agar angka stunting di Indonesia bisa di turunkan, selain
itu masyarakat pun semestinya harus peduli dengan permasalahan gizi kronis di
negara kita. Apalagi banyak juga mitos mitos yang menyertai ibu hamil sehingga
membawa dampak negatif bagi tumbuh kembang janin di masa kandungan.
Ada beberapa mitos yang berkembang di masyarakat seperti
pemberian asupan makanan berupa buah pisang kepada bayi dengan tujuan nantinya
bayi akan lebih kuat dan memiliki daya tahan lebih, padahal untuk usia bayi di
bawah sembilan bulan, pemberian buah pisang tidak di anjurkan karena tubuh si
bayi belum bisa mencerna zat zat yang terkandung dalam buah pisang, alih alih
mendapatkan gizi yang baik dengan harapan si bayi tumbuh kembang dengan baik
dan pintar malah mengalami permasalahan dalam sistem pencernaan.
Mitos yang juga sering kita dengar adalah ibu hamil
sebaiknya tidak mengkonsumsi ikan, di khawatirkan nantinya si jabang bayi
berbau amis, tentu saja mitos seperti ini seharusnya di enyahkan, dengan
komposisi protein ikan yang mengandung omega 3 sangat membantu bagi ibu hamil
mendapatkan asupan gizi bagi calon bayi di dalam kandungan. Dengan menu yang
berimbang dan salah satunya mengkonsumsi ikan, ini sangat baik agar janin tak
mengalami gizi buruk dan kekerdilan pada anak di usia pertumbuhan.
Indonesia yang di kenal sebagai negara bahari sangat di
untungkan dengan hasil laut yang melimpah, semoga mitos seputar wanita hamil
yang mengkonsumsi ikan dan mengakibatkan bayinya akan berbau amis akan sirna,
karena ikan memang layak di konsumsi bagi perempuan yang sedang hamil.
Mengoptimalkan
Peran Paraji Untuk Mengkampanyekan Bahaya Stunting
Dahulu di desa Rajawetan di mana penulis berada, ada
seorang paraji atau dukun beranak yang begitu di segani, namanya Emak Weng,
soal pengalaman beliau sangat mumpuni, hampir seluruh bayi yang lahir di desa
Rajawetan di tangani oleh Emak Weng, meski berprofesi sebagai dukun beranak
atau paraji namun Emak Weng sangat kooperatif dengan pihak Puskesmas di
kecamatan.
Sering kali Emak Weng meski telah berumur berjalan
sekitar dua kilo meter menuju ke puskesmas dan belajar kepada petugas paramedis
dalam penanganan kelahiran. Dan ini mungkin bisa di terapkan saat ini, dengan menggandeng
orang orang seperti Emak Wang dan mengkampanyekan bahaya stunting kepada
masyarakat setempat merupakan hal yang perlu di lakukan, biasanya orang orang
di desa lebih mendengar dari orang orang yang di tuakan.
Bagaimana pun dukun beranak yang secara tradisional telah
lama ada dan keahliannya di turunkan secara turun temurun merupakan bagian tak
terpisahkan dengan adat dan budaya nusantara, pendekatan secara persuasif
dengan para dukun beranak akan memberikan harapan bahwa bahaya stunting yang
mengintai anak anak Indonesia, sedikit demi sedikit bisa teratasi.
Menjadikan
Posyandu Sebagai Ujung Tombak Menangkal Hantu
Stunting
Ada beberapa hal mengapa stunting terjadi di tanah air,
faktor itu berupa masih kurangnya akses masyarakat untuk mendapatkan makanan
bergizi, untuk memenuhi kecukupan gizi dalam makanan di Indonesia relatif
mahal. Hal lain juga dengan keterbatasan layanan kesehatan ibu selama masa kehamilan,
dan stunting terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan dan
gizi, sebelum dan masa kehamilan serta ibu melahirkan. Dan yang tak bisa di
abaikan adalah faktor gizi buruk ibu hamil maupun anak balita.
Pengoptimalan Posyandu menjadi penting untuk mencabut akar
permasalahan stunting, pemberdayaan masyarakat dan dengan adanya pemanfaatan
dana desa untuk kegiatan Posyandu semisal penyediaan makanan sehat untuk meningkatkan
gizi balita dan anak, perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui,
pengadaan kebutuhan medis berupa makanan, obat obatan serta vitamin. Jika
terintegrasi antara pihak desa dan juga Posyandu maka pemetaan kasus stunting
akan bisa di lakukan.
Posyandu menjadi garda depan untuk menangkal bahaya hantu
stunting, dengan segala ikhtiar yang ada semoga stunting yang mendera generasi
harapan bangsa bisa di minimalisir sehingga di tahun tahun mendatang, stunting
angkanya dapat di turunkan.
Mengawal 1000
Hari Pertama Kehidupan
“Jangan Sampai ada lagi yang namanya gizi buruk, Tidak
ada anak yang sepantasnya kekurangan gizi di negara berpendapatan menengah
seperti sekarang ini.” Joko Widodo-Presiden RI.
Yup kita pun bersepakat dengan presiden ke 7 Republik
Indonesia ini, satu hal yang patut kita catat, tak layak rasanya negara sebesar
Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan juga tanah airnya begitu subur, harus
memiliki catatan kelam tentang gizi buruk. Satu hal yang penting agar tak terus
terjadi, kita semestinya jangan abai dengan 1000 hari pertama kehidupan. Sering
di sebut bahwa 1000 hari pertama kehidupan adalah masa masa emas yang
sesungguhnya menentukan di kehidupan berikutnya.
Satu periode percepatan tumbuh kembang yang di awali
dengan terbentuknya si jabang bayi alias janin hingga anak berusia 2 tahun.
Semenjak dalam kehamilan di mana organ organ penting seperti mata, jantung,
saluran pencernaan dan juga paru paru mulai terbentuk, masa 270 hari atau 9
bulan dalam kandungan adalah fase penting dan jangan sampai abai untuk
memberikan nutrisi yang di perlukan. Di lanjut dengan masa menyusui di mana ASI
adalah makanan terbaik bagi bayi, asupan makanan bergizi untuk ibu menyusi
sangat penting di lakukan. Sebaiknya ASI di berikan secara eklusif selama 6
bulan pertama.
Setelah usia 6 bulan maka berikan juga makanan pendamping
bagi bayi, penting bagi bayi di perkenalkan makanan padat dan juga tekstur serta
rasa baru sehingga bayi pun mampu mengembangkan kemampuan motoriknya.
Pengawalan secara benar di 1000 tahun pertama kehidupan akan berdampak
signifikan bagi perkembangan anak, kita tentu tak ingin generasi emas anak
bangsa terpuruk karena stunting.
Beruntung
Negara Ada Di Saat Stunting Mencapai Angka 37%
Angka 37% untuk kasus stunting di tanah air termasuk
tinggi, dengan sebaran stunting yang di derita anak Indonesia yang mencapai 9
juta jiwa merupakan tamparan keras yang seharusnya seluruh elemen masyarakat di
Indonesia bekerja keras agar sedikit demi sedikit masalah stunting dapat di
atasi. Dampak dari stunting begitu nyata karena ekonomi dan produktivitas pasar
kerja, stunting mampu menghilangkan 11 % GDP, mengurangi pendapatan pekerja
dewasa hingga 20%, mengurangi 10 % total pendapatan seumur hidup dan juga
adanya kemiskinan antar generasi.
Melihat bahaya terdampak stunting, ada ikhtiar dari
negara untuk mengurangi angka stunting, di tahun 2015 ada kenaikan alokasi
anggaran kesehatan perpenduduk sebesar 21% namun tidak di imbangi penurunan
prevalensi stunting. Alokasi anggaran kesehatan di tahun 2016 sebesar 22% dan
itu memberi cukup bukti bahwa ada upaya pemerintah untuk bersungguh sungguh
menghadapi bahaya stunting. Memang di perlukan hadirnya negara untuk masalah
yang cukup serius bernama stunting.
Semoga upaya keras pemerintahan, terlepas siapa pun yang
memerintah ada kesungguhan agar masa depan bangsa ini bisa terselamatkan. Hantu
stunting akan terus menguntit perjalanan bangsa ini, kalau kita tidak
mengantisipasinya secara cerdas, di pastikan beberapa tahun mendatang, bukan
saja bonus demografi yang di dapat namun akan hadir generasi yang hilang dengan
buruk gizi, sungguh ini hal yang menakutkan bagi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar