Acara kece PPMI dan Oxfam tentang pertanian(dokpri)
Ada anekdot yang pernah penulis baca, tersebutlah seorang
remaja di beri tantangan untk menghasilkan uang dari sebuah lahan sawah, dengan
cepat si remaja yang telah terbiasa dengan gadget memposting lahan sawah di
media sosial dengan caption “ Di jual sebidang tanah untuk di jadikan cluster
dengan bangunan super serta nyaman untuk hunian!”
Ilustrasi lahan sawah yang di sulap menjadi hunian
merupakan realita yang ada, irigasi yang tadinya berfungsi mengaliri sawah kini
kerontang karena sawah telah menjelma menjadi hunian.Pada tanggal 30 Oktober
2016, di hotel Ibis Tamarin Menteng ruang Mentawai. Meski harus tanya sana sini
akhirnya tempat acara bisa di temukan, terima kasih Mas Agung Han dan Bang
Kurniawan Pakpahan yang memandu via grup Facebook.
Di awali dengan makan siang, akhirnya acara yang bertajuk
“Memajukan Pertanian Berkelanjutan untuk Wujudkan Hak Atas Pangan” dan
beruntung penulis bisa hadir di acara ini untuk mendengarkan nara sumber yang
berkompeten di bidang perpanganan, hadir juga mantan penyanyi cilik era 90an
yakni Dea Ananda. Nara sumber pertama yang di kenalkan oleh moderator Sabiq
Carebesth adalah Bapak Tjuk Eko Hari Basuki yang menjabat sebagai Kepala Ketersediaan
Pangan Kementerian Pertanian.
Ada juga Bapak Khudori Pengamat & Pertanian FAA PPMI,
dari OXFAM hadir nara sumber wanita yakni Mbak Dini Widiastuti(Economic Justice
Program Director OXFAM), ada Bapak Noor Avianto yang menjabat sebagai
Direktorat Pangan&Pertanian Bappenas. Kupasan nara sumber tentag pangan
nasional begitu sarat informasi berharga dan inilah suatu hal yang layak di
kedepankan bahwa tak serta pangan ada jika tak ada orang orang yag bejasa besar
bagi hadirnya pangan di rumah kita untuk di konsumsi setiap hari.
Melupakan Kearifan
Lokal Bernama Pranoto Mongso
Nara sumber Media Talk di Hotel Ibis Tamarin(dokpri)
Indonesia berbeda dengan tempat lain untuk urusan tanaman
dan keragaman hayati, tanaman yang di miliki Indonesia beragam bukan seragam
dan ini adalah modal awal pertanian berkelanjutan, potensi makanan di nusantara
memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan konsumsi orang dengan populasi 2
milyar. Namun ada yang salah dalam pengelolaan pangan nasional dalam beberapa
dekade terakhir. Salah satunya ialah menyeragaman konsep makanan pokok untuk
seluruh wilayah Indonesia, padahal untuk wilayah timur seperti Papua dan juga
Maluku, sagu merupakan makanan pokok yang sudah turun temurun namun di paksakan
padi bagi mereka, inilah awal ketahanan pangan.
Meski memang pernah di satu ketika negeri ini mengalami
swasembada beras namun itu tak berkesinambungan, setelah itu pun kita telah
melupakan konsep pertanian bernama Pranoto Mongso, konsep pertanian selaras
dengan alam. Pernyataan menarik dari nara sumber pertama yakni Bapak Tjuk Eko
Hari Basuki memberi cakrawala baru berpikir tentang metode pertanian warisan
leluhur, Pranoto Wongso mencakup aturan petani untuk memulai masa tanamnya, atau
saat nelayan akan melaut dengan perhitungan bintang untuk memandu pelayaran.
Nilai nilai Pranoto Mongso kini semakin sulit di temukan,
padahal konsep Pranoto Mongso memiliki keterkaitan antara Manusia, tanaman,
hewan dan mikro organisme sehingga rantai makanan berjalan sebagai mana
mestinya. Pusaka nusantara bernama Pranoto Mongso kian terlupakan dan pertanian
Indonesia pun masih berjalan di tempat ketika negara negara lain telah
membenahai sistem pertanian mereka, tak pelak lagi Indonesia pun di serbu
beraneka produk impor mulai dari buah, tanaman dan gelontoran barang import
berupa daging, beras, kedelai, jagung yang membuat petani kian terjepit.
Urban Society
Dalam Wajah Kedaulatan Pangan Nasional
Blogger turut memeriahkan acara(dokpri)
Diskusi semakin hangat dengan tampilnya Bapak Noor
Avianto dari Bappenas, sisi pangan saat ini telah berubah, struktur penduduk
berubah dan trend konsumsi penduduk mengalami perubahan yang cukup signifikan,
produk pangan berbasis karbohidrat dan umbi umbian cenderung menurun namun
untuk produk sayur dan buah justru grafik kenaikan. Sisi gizi cukup bagus
dengan para meter pola pangan harapan di Indonesia mencapai 81,9%, kebutuhan energi
nasional menjadi 1.967 kalori perkapita perhari, masih di bawah angka ideal
sebesar 2.150 kalori perkapita.
Fakta bahwa kemiskinan memang ada dan berpengaruh untuk
angka gizi kurang dan gizi lebih, struktur pertanian menjadi penting dan
produktifitas pangan yang tidak stabil menjadi kendala, sebagai contoh produksi
padi mempunyai range pertumbuhan sebesar 0 hingga 4 % saja. Indonesia memerluka
lahan baku dengan sawah yang stabil namun faktanya kini sawah beralih fungsi
menjadi perkantoran dan perumahan, selain itu perubahan iklim pun menyumbang
pergeseran musim tanam.
Milenium baru dengan jumlah penduduk yang terus
meningkat. Urban Society melesat, kini di kampung kampung pun telah mengenal
produk pangan bernama junk food. Orang menginginkan makanan jauh lebih praktis
dan cepat tersaji.
Pendapat Bapak Noor Avianto ketersediaan lahan pertanian
dengan target jangka panjang dan menengah perlu di lakukan siapa pun
presidennya, kedaulatan pangan dengan mencakup stabilisasi panga, produksi di
tingkatkan serta mitigasi kesejahteraan. Adapun langkah strategis mengamankan
kedaulatan pangan dengan langkah langkah konkret seperti mencetak sawah baru,
pembenahan irigasi, estimasi struktur ongkos.
Urban Society dengan pemenuhan pangan yang ideal agar
mencapai nol kelaparan bagi bangsa ini membutuhkan kebijakan yang tepat, karena
pada saat ini sekitar 20 juta rakyat Indonesia mengalami kelaparan setiap
harinya padahal negeri kita adalah negeri agraris. Padahal sumber daya kita
cukup, inilah yang harus di benahi agar pengelolaan yang salah di masa lalu
dapat di perbaiki, sektor pertanian di upayakan lebih kompetitif da mempunyai
daya saing global.
Karena Wanita
Ingin Di Mengerti Meski Berada Di Sektor Pertanian Sekalipun
Rajawetan yang merupakan kampung penulis di mana sebagian
besar penduduknya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Mempunyai
beberapa bata lahan sawah, satu bata
setara dengan 14 meter persegi. Musim tanam dan panen adalah saat saat tersibuk
bagi Emak penulis untuk mengelola sawah, berapa pupuk yang harus di beli,
berapa ekor kerbau yang harus di pakai membajak, atau persiapan panen adalah
hal hal yang di urus Emak, semua di kerjakan dengan cekatan, hasil panen melimpah
maka senyum Emak pun terkembang.
Wanita sebenarnya memiliki posisi sentral dalam peranan
produsen pangan, saat ini ada 14 juta keluarga petani di Indonesia, angka
tersebut bisa dua kali lipat jika menyertakan perempuan. Paparan awal Mbak Dini
Widiastuti dari OXFAM mengggugah ingatan kecil penulis akan Emak di kampung
yang seakan memiliki fungsi manager saat musim tanam maupun panen. Seharusnya
peran perempuan lebih di berdayakan, peran ibu ibu lebih di libatkan untuk
menyongsong kedaulatan pangan nasional.
Kaum wanita cenderung lebih telaten untuk pemilihan bibit
tanaman atau pun menyortir hasil panen kopi. Oxfam di Indonesia bertujuan
memperjuangkan hak perempuan atas tanah, mendukung wanita untuk akses terhadap
sumber daya alam serta sumber daya produktif. Selain itu memberikan promosi
kepemimpinan yang tepat kepada perempuan dalam mata rantai nilai serta pengambilan
keputusan pada usaha yang di jalani.
Wanita juga berdaya dalam kelompok kelompok pertanian,
anggota parlemen perempuan dan instansi pemerintahan, mendukung pemeritah
melalui advokasi terhadap kebijakan-kebijakan publik dan kesetaraan gender.
Adalah satu kenyataan di depan mata bahwa 11,13% penduduk di Indonesia masih
hidup di bawah garis kemiskinan(BPS, September 2015) dan adalah penting bagi
pemerintah medukung strategi pengentasan kemiskinan di nusantara dengan melibatkan
banyak peran perempuan
Zaman telah berubah, saatnya mengakhiri segala bentuk
diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan di mana saja, dalam
target jangka panjang di tahun 2020. 2,5 juta perempuan dan laki laki di
Indonesia terus di berdayakan untuk mengatasi kemiskinan, kerentanan dan
kesetaraan. Perempuan pun harus terlibat aktif agar cita cita kedaulatan pangan
di Indonesia bisa tercapai, pokoknya mah hidup Emak dan juga perempuan
perempuan di seluruh Indonesia!
Revolusi Hijau
Dan Dampak Degradasi Tanah
Indonesia pernah mengalami swasembada pangan pada edisi
tahun 1984 hingg 1989, setelah itu pencapaian swasembada seakaqn mati suri.
Perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budi daya pertanian dan
ekploitasi atas tanah yang pada akhirnya tanah menjadi sakit, mikro organisme
di bawah tanah mati karena serbuan penggunaan pestisida yang tak terkendali,
rantai pangan pun terputus sehingga produksi menurun.
Menurut Bapak Khudori yang menjadi nara sumber, sudah
saatnya mengakhiri kemiskinan dengan mengedepankan keadilan tentang tanah
karena ini erat hubungannya dengan soal pangan, konsumsi dan distribusi. Di
satu sisi penduduk terus bertambah, kelas menengah mengalami kenaikan jumlah
yang cukup signifikan dan daya beli pun bertambah. Di tahun 70an dan 80an
ekploitasi terus menerus, produktifitas hasil pangan memang luar biasa tapi di
sisi lain di dua dekade berikutnya kualitas tanah terdegradasi.
Saat ini produktifitas berasal dari luas panen,kenaikan
produksi seharusnya berasal dari produktifitas, kini lahan semakin kecil dengan
menghasilkan petani petani gurem. Saat ini di Indonesia mengalami krisis sumber
daya manusia di bidang pertanian, petani sudah beranjak tua dan kaum muda
semakin enggan berada di sektor pertanian. Belum lagi perubahan iklim yang
menggangu musim tanam, musim kering 40 hari lebih cepat sedangkan musim hujan
40 hari lebih lambat, biasanya bulan April-Oktober adalah musim kemarau namun
terjadi anomali, banjir pun menjadi persoalan bagi petani kita. Hutan rusak
serta tutupan air di lereng gunung semakin berkurang sehingga ketersediaan
pasokan air menyusut.
Revolusi Hijau selama 14 tahun di upayakan dengan
konversi lahan sangat besar dngan membuka lahan secara sembarangan,
ketergantungan paket teknologi yag melupakan kearifan lokal, akhirnya
menghilangkan varietas unggulan lokal yang tahan terhadap gempuran hama,dari
semua itu degradasi lahan dan lingkungan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya
kini menerapkan sistem pembangunan Eco Region, pilar pertanian terdiri dari
ketangguhan ekonomi, ekologis dan sosial menawarkan konsep pertanian lebih humanis.
Ketangguhan agro ekologi jauh lebih progresif dan
prodktifitas tinggi. Saat penjajah Belanda bahwa pengembangan pangan berdasar
riset budi daya, kenapa Jawa banyak kebun tebu sedangkan Sumatera di
intensifkan perkebunan sawit? Jawabannya bahwa karakter tanah di Jawa cenderung
menerima tanaman tebu sebagai varietas unggulan, begitu pun sawit mengapa di
tanam di Sumatera. Di perlukan pemetaan wilayah agar tidak terjadi pemaksaan
penanaman tumbuhan di daerah tertentu yang sebenarnya cocok untuk tumbuhan lain.
Konsep pertanian untuk kedaulatan pangan nasional tak ada
lagi penyeragaman komoditas, secara khittahnya tanah nusantara menerima
keberagaman tanaman. Tapi sayangnya isu pertanian sering kali luput dari para
kontestan pilkada, isu pangan bukanlah hal yang seksi untuk janji kampanya para
calon pemimpin daerah, sehingga sektor pertanian relatif tertinggal di banding
isu kesehatan misalnya.
Ke depannya pemerintah semestinya memperhatikan keragaman
tanaman, jangan paksa daerah Papua untuk di jadikan lahan bertanam padi karena
secara kultural Sagu adalah tanaman ideal bagi wilayah timur Indonesia, basis
pangan secara berangsur angsur pindah ke luar Jawa, karena saat ini Jawa masih
menjadi beban untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Selain itu jangan ada
monopoli pada pasar pangan agar konsumen punya daya beli.
Dea Ananda
Selebriti Yang Mencintai Makanan Lokal
Para Nara sumber di sesi poto bersama usai acara(dokpri)
Gegara boyband dan girl band Korea yang begitu ngehit eh
jadi ikut ikutan latah menyukai kimchi, karena pengen di sebut keren maka
mengkonsumsi lah burger, pizza dan sederet makanan import, mengesampingkan
tempe karena di anggap nggak keren. Hal itu tidak berlaku bagi Dea Ananda
seorang mantan artis cilik di era 90an bersama Trio Kwek Kweknya, Dea Ananda
semenjak kecil di kenalkan Mamanya dengan makanan lokal seperti tahu dan tempe,
karedok leunca ataupun sop kembang tahu. Meski selebriti ternyata Dea tak segan
menikmati belanja di pasar tradisional untuk membeli sayuran lokal. Masa kecil
di lalui Dea dengan mengenal pangan lokal dan juga masakan sehari hari seperti
sayur asem serta tempe bacem untuk bekal sekolah, sering kali ia di tertawakan
karena membawa bekal karena berisi tempe bacem atau tempe goreng.
Kepedulian Dea Ananda terhadap makanan lokal patut di
apresiasi, apapun jenis makanan tradisional haruslah di cintai dengan sepenuh
hati, karena siapa lagi kalau bukan kita yang menyukai pangan lokal, nyuruh
bangsa lain untuk peduli makananan dan pangan lokal? Rasanya nggak mungkin
banget, terima kasih Dea Ananda dengan pengalamannya mencintai pangan lokal,
jayalah pangan Indonesia.
Untung saya juga suka tempe sama kaya dea ananda :-)
BalasHapusUntung saya juga suka tempe sama kaya dea ananda :-)
BalasHapus