Pohon Akasia(dok:bandaaceh.go.id)
Musim
kemarau yang kering,meski malam mulai larut namun udara masih terasa gerah.
Dengan berbalut kaus kutang yang tak nampak kebelelannya karena memang malam
seakan menyelimuti dengan kegelapan, Nurdin menenteng sisa kopi di gelas
plastik yang dipesan dari warung si Mbah. Masih terdengar derit kayu yang
beradu pertanda Mbah menutup warungnya.
Jam tangan
menunjukan arah jarum ke angka sebelas untuk jarum pendek dan angka enam untuk
jarum panjang, dengan pelan Nurdin menuju ke tepi empang di mana di sana tumbuh
dengan subur pohon Akasia dengan daun daunnya yang ramping memanjang. Biasanya
jika sore hari atau hari libur, empang banyak di kunjungi warga perumahan atau
pun warga Kampung Kandang untuk memancing.
Dahulu saat
musim Pilkada,salah satu calon wakil Bupati pernah bertandang ke empang dan
sengaja menyebar ikan untuk di pancing, sisa sisa kampanye ternyata membiakan
ikan ikan di empang,maka kalau mujur ada Nila atau Mujaer yang bisa di dapat.
Nurdin berjongkok di tepi empang sambil menikmati sebatang rokok. Angin semilir
di tengah malam membuat ia merasa nyaman. Sepulang kerja memang Nurdin acap
kali memilih rehat sejenak sebelum beranjak tidur, pilihannya adalah nyantai di
tepian empang.
Dari
kejauhan terdengar suara gonggongan anjing, mungkin si Bruno yang kesepian
karena tuannya sudah pergi entah kemana, bila pun ada suara anjing tak
menakutkan bagi Nurdin karena dipastikan itu suara si Bruno yang memang kerap
hilir mudik di seputaran perumahan. Sesekali terdengar juara jangkrik, malam
semakin sepi, warga perumahan tampaknya sudah mulai nyaman di peraduan.
Dalam
beberapa menit hanya kepulan asap dan juga tegukan terakhir kopi gelas plastik
seakan merajai suasana tepi empang, niat Nurdin buat balik badan menuju rumah
sedikit terhenti. Entah datangnya dari mana tetiba ada sosok lain yang menemani
Nurdin.
“Numpang
ngadem ya Bang, gerah sekali malam ini.”
Nurdin
melirik sekilas, seorang wanita memunggungi Nurdin, terlihat samar rambut yang
menutupi badannya yang di balut kain berwarna putih.
“ Oh iya
silahkan nggak apa apa kok, namanya juga empang milik umum, siapa pun boleh
beristirahat di sini,” jawab Nurdin dengan gaya cool dan kalem.
“Manusia
zaman sekarang memang benar benar serakah dan rakus, rasanya aku benci dengan
mereka,” ketus perempuan berambut panjang itu membuka obrolan.
“Lho kok
gitu? Nggak semuanya kali Mbak,” tukas Nurdin cepat.
“Dahulu
tempat ini adalah arena bermain bagi kami, sawah yang membentang, padang
ilalang serta pohon pohon besar menjadi tempat seru untuk bermain, namun tiba
saatnya semua itu hilang dan musnah. Tanah di uruk dan rumah pun berdiri sana
sini, kemana pula kami bermain main,” ungkap perempuan berambut panjang dengan
nada masygul,kecewa.
“Susah sih
Mbak bagaimana pun orang butuh rumah dan akhirnya jadilah sawah di sulap jadi
tempat tinggal, apa lagi memang semakin kemari sawah makin di gusur lalu di
bangunlah rumah, kantor atau ruko,” ujar Nurdin seraya membuang puntung ke arah
empang.
Tak di
minta namun perempuan berambut panjang terus mengoceh, tentang kemurkaannya
yang menganggap manusia serakah,main gusur, main embat dan semua di sikat,
sawah pun tak luput dari incaran agar bisa di bangun perumahan, membongkar
kuburan untuk membangun gedung tinggi menjulang, semua itu karena duit, duit
dan duit serta nafsu keserakahan yang tiada henti.
“ Hanya
satu yang di sisakan oleh manusia serakah, cuma ini sebatang pohon Akasia yang
beruntungnya nggak di tebang.”
Nurdin
hanya diam dan berusaha mencerna omongan perempuan yang baru saja di lihatnya
malam ini. Semilir angin malam membawa semerbak bau bunga melati, apakah
perempuan itu mencium juga apa yang di rasakan Nurdin? Malam semakin larut,
teman ngobrol Nurdin masih duduk di posisi semula, gemerisik daun Akasia di
terpa angin dan beberapa di antaranya jatuh ke empang.
“Memang
Mbak sudah lama tinggal di sini? Tanya Nurdin.
“Semenjak
dahulu sudah di sini, sebelum tempat ini menjadi ramai karena di buat
perumahan, tak ada lagi ketenangan di sini, tegalan, pematang dan juga kebon
kebon telah raib di ganti rumah rumah, namun untung juga pohon Akasia di sini
dan juga pohon Serut yang di ujung perumahan masih tersisa dan ada teman kami
untuk bermain,” lirih perempuan berambut panjang berkata.
Seliweran
aroma melati makin mengental, Nurdin merasa bulu kuduknya mulai berdiri, tak
biasanya ia merasakan hal seperti ini. Belum pulih benar Nurdin berpikir
tentang bau melati dan tiba tiba perempuan sudah melesat ke arah dahan pohon
Akasia yang menjulur ke arah Empang. Posisi nya masih membelakangi Nurdin namun
sudah berayun ayun di pohon Akasia.
Antara
percaya dan tidak percaya, Nurdin menggosok gosokan telapak tangan ke mata, ini
mimpi atau bukan. Beberapa jenak terdengar tawa lirih perempuan berambut
panjang.
“Hihihihihihi....anak
muda terima kasih sudah mendengarkan kegalauanku malam ini, tapi ingat ingat ya
bahwa pendapatku tentang manusia serakah yang membabat habis sawah, menebang
pohon sembarangan adalah hal yang membuatku sedih,hihihihi aku akan menuju
pohon Serut.”
Nurdin
menatap dengan pandangan nanar, antara percaya dan nggak percaya, tubuh
perempuan itu melayang di atas empang, menyisakan juga tawanya yang makin
membuat Nurdin merinding tak karuan, tawa itu masih tersisa meski tubuh
perempuan panjang sudah mulai lenyap dari pandangan. Yakinlah Nurdin kini bahwa
malam ini ia bertemu dengan kuntilanak penghuni pohon Akasia di samping Empang,
lalu Nurdin pun tak sadarkan diri.
Nurdin
merasakan tubuhnya terguncang hebat, matanya mulai terbuka dan terlihat samar
wajah Mang Karim yang tertangkap oleh bola matanya.
“Woooi
bangun euy bangun! Tidur kok di pinggir empang.”
Nurdin
mengucek mata dan mulai mengumpulkan kesadarannya, Mang Karim berjongkok di
sampingnya sambil terus bertanya kenapa ia tertidur di tepian empang.
“Kayaknya
saya ngantuk berat tadi malam Mang Karim, kejadian deh ketiduran, maklum pelor
sih nempel langsung molor,”ungkap Nurdin dengan suara malu malu.
Mang Karim
terkekeh mendengar jawaban Nurdin, lalu ia pun berlalu ke arah musholla,
terdengar suara orang mengaji, tampaknya waktu telah menuju waktu Shubuh.
Semalam bertemu Kuntilanak, ngeri ngeri gimana gitu namun Nurdin berjanji tak
akan bercerita kepada siapa pun akan pertemuannya dengan Kuntilanak penunggu
pohon Akasia, biarlah ini menjadi sebuah rahasia baginya, kalau ia bercerita
nanti di anggap Koplak gitu lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar