Pages

Sabtu, Februari 15, 2020

Si Cepot And The Gang Wayang Kocak Dan Bersahaja


                         Si Cepot dan bokapnya, Ki Semar yang terpajang sebagai souvenir keren(dokpri)




Sebagai orang yang dibesarkan di tatar Sunda, dimana wayang golek adalah bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian seni budaya masyarakatnya, wayang golek banyak memberikan pelajaran hidup, tentang budi pekerti, apa arti tentang kesetiakawanan, keculasan dan pernak pernik perilaku manusia pada umumnya. Wayang golek yang terbuat dari kayu seolah hidup kalau dibawakan oleh dalang kasohor seperti dalang Asep Sunandar Sunarya di lingkung seni Giri Harja III, alfatihah untuk beliau.

Namun sebenarnya yang membetot penonton saat tampilnya para punakwan dari Tumaritis, pakem wayang tanah air memang agak berbeda dengan cerita Mahabharata versi India, ada beberapa tokoh wayang golek maupun wayang kulit yang tak akan pernah ada dalam literatur kisah Mahabharata, yap para punakawan versi wayang golek yang membuat para penonton rela begadang semalam suntuk hanya yntuk menyaksikan bobodorannya si cepot, bobodoran atau senda gurau memang biasa berada di tengah konflik yang terjadi, maka Ki Lurah Semar, Cepot dan Dawala akan menjadi raja panggung yang membuat penonton ger geran karena banyolan banyolan khas Cepot dan kawan kawan.

Pada dasarnya Ki Semar dan juga Astrajingga atau Cepot, perlambang rakyat kebanyakan, mereka tak punya ilmu yang mumpuni, tak punya harta yang melimpah, namun kesederhanaan lah yang membuat mereka seperti kita pada umumnya, Cepot dengan muka bercat merah, dengan gigi nongol satu, pakaiannya biasanya hitam dan membawa sebilah senjata sederhana berupa golok.
Banyolan banyolan Astrajingga atau Cepot terkadang berbentuk satire terhadap penguasa, namun dibalik semua itu adalah perlambang betapa rakyat kecil sebenarnya sudah terbiasa dan tahan banting akan arti hidup sederhana, hidup yang biasa biasa saja dan tak bergelimang oleh harta, mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, dan terkadang nrimo, sulitnya hidup tak membuat Cepot berputus asa dan merutuki hidupnya, malah dengan hidup yang serba susah ia mampu tertawa dengan riang.


Dari wayang pula akhirnya saya tahu bahwa tak semua ksatria itu benar benar memiliki jiwa ksatria, terkadang mereka pun melakukan beberapa kekhilafan, ini kah sebuah filosofi tak ada manusia yang sempurna? Entahlah namun yang jelas dengan belajar beragam karakter wayang, berarti juga belajar tentang karakter manusia pada umumnya, belajar tentang watak Duryudana yang sombong dan serakah, belajar tentang Semar yang arif bijaksana dan tak pernah menyesali bentuk tubuhnya yang bunder siga endog atau bulat mirip telor, Ki Lurah Semar tak pernah berpikir untuk melangsingkan tubuhnya dengan diet ketat.

Astrajingga atau si Cepot banyak memberi insipirasi, kesederhanaan bukanlah hal yang mesti ditertawakan, kesederhanaan bukan berarti tak mampu, namun jiwa sederhana adalah mampu mengekang sifat keakuan, padahal ia pun sebenarnya mampu untuk melakukan yang bisa dilakukan oleh orang lain, bergelimang kenikmatan dunia, namun Ki Lurah Semar, Cepot, Dawala memilih menjadi orang biasa biasa saja, nggak milih menjadi ksatria yang derajatnya lebih tinggi

Saat ini jika hajatan nanggap wayang sepertinya sudah agak jarang, entah ada pergeseran selera penonton di era kekinian, atau mungkin juga zaman telah berubah, hari gini nonton wayang? Wah bisa bisa disebut bukan milenial nih, namun dibalik cerita tentang pewayangan sebenarnya ada kisah teladan yang dapat di implementasikan di dunia nyata. Namun saying banget nih hari gini nyari tontonan wayang golek di hajatan hajatan memang sudah sangat jarang banget sih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar