Si Cepot dan bokapnya, Ki Semar yang terpajang sebagai souvenir keren(dokpri)
Sebagai orang yang dibesarkan di tatar Sunda, dimana wayang golek adalah bagian
yang tak terpisahkan dalam keseharian seni budaya masyarakatnya, wayang golek
banyak memberikan pelajaran hidup, tentang budi pekerti, apa arti tentang
kesetiakawanan, keculasan dan pernak pernik perilaku manusia pada umumnya.
Wayang golek yang terbuat dari kayu seolah hidup kalau dibawakan oleh dalang
kasohor seperti dalang Asep Sunandar Sunarya di lingkung seni Giri Harja III,
alfatihah untuk beliau.
Namun
sebenarnya yang membetot penonton saat tampilnya para punakwan dari Tumaritis,
pakem wayang tanah air memang agak berbeda dengan cerita Mahabharata versi
India, ada beberapa tokoh wayang golek maupun wayang kulit yang tak akan pernah
ada dalam literatur kisah Mahabharata, yap para punakawan versi wayang golek
yang membuat para penonton rela begadang semalam suntuk hanya yntuk menyaksikan
bobodorannya si cepot, bobodoran atau senda gurau memang biasa berada di tengah
konflik yang terjadi, maka Ki Lurah Semar, Cepot dan Dawala akan menjadi raja
panggung yang membuat penonton ger geran karena banyolan banyolan khas Cepot
dan kawan kawan.
Pada
dasarnya Ki Semar dan juga Astrajingga atau Cepot, perlambang rakyat
kebanyakan, mereka tak punya ilmu yang mumpuni, tak punya harta yang melimpah,
namun kesederhanaan lah yang membuat mereka seperti kita pada umumnya, Cepot
dengan muka bercat merah, dengan gigi nongol satu, pakaiannya biasanya hitam
dan membawa sebilah senjata sederhana berupa golok.
Banyolan
banyolan Astrajingga atau Cepot terkadang berbentuk satire terhadap penguasa,
namun dibalik semua itu adalah perlambang betapa rakyat kecil sebenarnya sudah
terbiasa dan tahan banting akan arti hidup sederhana, hidup yang biasa biasa
saja dan tak bergelimang oleh harta, mereka menjalani hidup dengan keikhlasan,
dan terkadang nrimo, sulitnya hidup tak membuat Cepot berputus asa dan
merutuki hidupnya, malah dengan hidup yang serba susah ia mampu tertawa dengan
riang.
Dari
wayang pula akhirnya saya tahu bahwa tak semua ksatria itu benar benar memiliki
jiwa ksatria, terkadang mereka pun melakukan beberapa kekhilafan, ini kah
sebuah filosofi tak ada manusia yang sempurna? Entahlah namun yang jelas dengan
belajar beragam karakter wayang, berarti juga belajar tentang karakter manusia
pada umumnya, belajar tentang watak Duryudana yang sombong dan serakah, belajar
tentang Semar yang arif bijaksana dan tak pernah menyesali bentuk tubuhnya yang
bunder siga endog atau bulat mirip telor, Ki Lurah Semar tak pernah berpikir
untuk melangsingkan tubuhnya dengan diet ketat.
Astrajingga
atau si Cepot banyak memberi insipirasi, kesederhanaan bukanlah hal yang mesti
ditertawakan, kesederhanaan bukan berarti tak mampu, namun jiwa sederhana adalah
mampu mengekang sifat keakuan, padahal ia pun sebenarnya mampu untuk melakukan
yang bisa dilakukan oleh orang lain, bergelimang kenikmatan dunia, namun Ki
Lurah Semar, Cepot, Dawala memilih menjadi orang biasa biasa saja, nggak milih
menjadi ksatria yang derajatnya lebih tinggi
Saat
ini jika hajatan nanggap wayang sepertinya sudah agak jarang, entah ada
pergeseran selera penonton di era kekinian, atau mungkin juga zaman telah
berubah, hari gini nonton wayang? Wah bisa bisa disebut bukan milenial nih,
namun dibalik cerita tentang pewayangan sebenarnya ada kisah teladan yang dapat
di implementasikan di dunia nyata. Namun saying banget nih hari gini nyari tontonan wayang golek di hajatan hajatan
memang sudah sangat jarang banget sih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar