Peserta aksi sudah memadati jalanan, siap siap dengerin orasi(dokpri)
Di negeri yang mempunyai kultur demokrasi yang kuat,
kebebasan berbicara di jamin oelh Undang Undang, begitu pun di negeri kita
bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Hal ini atur dalam UUD 1945
pasal 28E ayat(3). Jadi jika ada orang orang yang berdemonstrasi, itulah sebuah
konsekwensi dari negeri yang memahami kebebasan berpendapat, asal tidak anarkhi
dan merusak fasilitas umum, demo ataupun aksi adalah sebuah keniscayaan.
Bukan ngebahas lebih detail tentang demonstrasi dan juga
peraturan yang kudu dipahami oleh para demonstran, peserta aksi bisa jadi
adalah mahasiswa yang suarakan kegelisahan, kaum buruh, bahkan ibu ibu rumahan
pastinya pernah mencicipi menjadi parlemen jalanan dan menyerukan perubahan.
Aksinya oke, tapi apa kuat mereka berdiri seharian dan cuaca tak menentu kadang
hujan dan kemudian panas menyengat, rasa lapar dan haus pun sepertinya sudah
pasti terasa. Beberapa kali penulis mengikuti aksi, dan yang seru ternyata ada
juga yang ikut ikutan aksi di jalan, demo juga? Bukan, mereka adalah pedagang
kaki lima atau juga para pedagang asongan lho yang siap jajakan barang
dagangan.
Pedagang ketoprak dan minuman siap menanggung rezeki(dokpri)
Ada tukang ketoprak, tukang sate, mie ayam, bakso, pecel
nasi dan juga lontong, tukang buah kupas dan tak terhitung yang menjajakan
minuman seperti kopi atau juga air mineral. Betul banget bahwa demonstran juga
manusia, dibalik pekik kencang mereka di jalanan, jika lapar pasti juga bakalan
makan, hal itu tampaknya di mengerti betul oleh para pedagang, biasanya para
pedagang tersebut membawa gerobak dan dilengkapi bangku agar pembeli nyaman
saat memesan makanan.
Jika iring iringan para peserta aksi melakukan long march
misalnya dari Monas menuju istana negara maka para pedagang pun rame rame
mengikuti arah rute para peserta aksi. Nah kesibukan pedagang ini saat jam
makan siang, secara biologis jam jam tersebut adalah jam yang krusial, antara
jam 12 siang hingga jam satu, di tengah terik mentari dan juga keringat yang
menetes, rasa lapar dan haus berkolaborasi, saatnya rehat untuk memulihkan
stamina, moment ishoma nih namanya, ada yang menunaikan sholat, ada yang duduk
nyantai ada juga yang menyerbu tukang yang ngejual makanan berat seperti yang
di sebutkan tadi.
Gerobak pecel pun mencari peruntungan di jalan(dokpri)
Inilah serunya mengikuti demo, biar panas panasan, meski
hujan hujanan namun jika panggilan alam menyapa maka tak akan jauh kemana,
tukang jualan pun di serbu, maka tak lama kemudian si pedagang pun sibuk
melayani pembeli, yang tukang ketoprak sibuk ngulek bumbu kacang, yang tukang
sate nggak berenti memainkan kipasnya, seru dan terlihat begitu cekatan untuk
menyuguhkan hidangan untuk para peserta aksi. Itulah sisi unik yang kerap di
lihat oleh penulis ketika harus hadir di jalan.
Begitu banyak kenangan di jalan, jadi ingat tentang
sebuah lagu Bongkar yang di dendangkan musisi legendari Indonesia, yang karya
karyanya kerap menyuarakan ketidak adilan di negeri ini, Bang Iwan Fals sangat
lugas meneriakan “Bongkar” seakan mewakili perasaan para peserta aksi. Dan
kerap juga lagu Bongkar menjadi pemompa sengat para demonstran. Yup memang
mengais rezeki bisa di mana saja, bahkan dalam situasi yang tak lazim seperti
demo, para pedagang pun tetap menanggung keuntungan dari jualan yang mereka
jajakan. Rezeki itu memang perlu di ikhtiarkan dan ini nampaknya di pahami oleh
para pedagang yang mengikuti pergerakan para peserta aksi, duit ngumpul dan
dagangan pun laris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar