Pages

Kamis, Oktober 31, 2019

Merindu Damai Sepak Bola Indonesia



Ricuh dan rusuh wajah sepak bola tanah air(dok: jpnn.com)



Sepak bola di Indonesia merupakan olah raga paling populer, setiap daerah memiliki klub kebanggaan dengan jumlah fans base yang tidak sedikit, Tanah air tercinta pun mempunyai jenjang kompetisi mulai Liga 1 sebagai kasta tertinggi dan liga dibawahnya.

Belum lagi jika di tambah liga tarkam yang kerap dipertandingkan di kampung kampung yang juga menyedot animo penonton, seharusnya dengan modal itu, sepak bola di Indonesia punya prestasi yang mentereng, alih alih juara eh malah yang kerap terbetik kabar, sepak bola kita kerap ricuh.

Bila dirunut ke belakang sudah banyak sekali kericuhan sepak bola yang terjadi, bakar stadion, pengrusakan fasilitas umum oleh suporter bola hingga tewasnya penonton menjadi drama yang memilukan dari wajah sepak bola tanah air.

Belum lagi pertikaian pengurus PSSI, sanksi FIFA dan kesemrawutan organisasi yang berimbas nyata untuk prestasi di tanah air. Kasus suap agar bisa memenangkan pertandingan adalah rahasia umum yang mencoreng wajah sepak bola kita.

Sri Sultan Hamengkubuwono X, raja karismatik asal Jogjakarta sampai buka suara dan berkomentar keras soal sepak bola tanah air, adalah pertandingan PSIM versus Persis Solo di liga 2 yang menjadi penyebabnya, bukan cerita menarik tentang pertandingannya namun kerusuhan yang terjadi.

Dalam derby Mataram, tuan rumah PSIM Jogjakarta di kalahkan Persis Solo dengan skor tipis 2-3, kekalahan ini membuat suporter PSIM kecewa dan memasuki lapangan dan mencari para pemain Persis Solo, suana pun semakin ricuh, petugas berupaya mengamankan situasi.

Namun sayang kerusuhan malah menjalar ke luar lapangan pertandingan, beberapa kendaraan di rusak, kerusuhan sepak bola sangat disesalkan sang Raja yang berusia 73 tahun ini. Jogjakarta yang damai tetapi karena ulah anarkhis sepak bola yang tak terkendali, mencoreng wajah Jogjakarta.

Hal serupa terjadi lagi di kota pahlawan, kericuhan terjadi usai klub kebanggaan warga Surabaya, Persebaya yang menyerah melawan tim tamu PSS Sleman dengan skor 2-3, para bonek mania tampaknya tidak puas dengan penampilan tim Bajul Ijo yang kian terpuruk dan menelan kekalahan. Yang di sayangkan adalah ulah penonton yang merusak fasilitas stadion.

Stadion Gelora Bung Tomo yang di gadang gadang menjadi salah satu stadion  yang akan di gunakan dalam gelaran Piala Dunia U 20 pada tahun 2021. Kericuhan ini memicu rasa keprihatinan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, di cuitan twitternya, Gubernur perempuan ini menyesalkan kejadian ricuhnya bonek dan merusak stadion.

Kasus rusuh dan ricuh di Jogjakarta serta Surabaya bukanlah hal yang baru di dunia sepak bola tanah air, berbagai kerusuhan dapat terjadi meski pemantiknya adalah hal hal yang bisa dianggap sepele, saling ejek, tidak puas tim kesayangan kalah atau soal wasit yang tak adil, acap kali menjadi pemicu kerusuhan.

Sungguh miris jika melihat hal ini terus terjadi, alih alih berprestasi, sepak bola Indonesia sepertinya jalan di tempat. Prestasi tak pernah di dapat tapi kericuhan dan kerusuhan selalu membayangi pertandingan sepak bola.

Seharusnya PSSI menindak tegas klub yang mempunyai basis massa suporter yang kerap berbuat ricuh, atau kah memang suporter bola menginginkan kericuhan? Sedih rasanya jika bangku penonton di bakar tanpa alasan yang jelas.

Sudah saatnya suporter Indonesia mencontoh penonton liga liga Eropa, sesakit apapun keputusan wasit di saat pertandingan, sikap anarkis dibuang jauh dulu karena nantinya klub lah yang akan kena denda. Saatnya suporter Indonesia bersikap dewasa, menyikapi hasil pertandingan, apapun skor nya, menang atau pun kalah, damai lah suporter Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar