Sampul majala Annida dengan cover cerpen"Misteri Tabo" karya pertama nembus media nasional(dokpri)
Untuk menjadi penulis itu tidak mudah Ferguso, nggak
sekedar duduk dan ketak ketik di depan laptop atau komputer, malah di zaman
dahulu mah mesin tik adalah property mewah yang nggak sembarangan orang punya,
ya apes apesnya sih sekretaris desa deh yang punya inventaris mesin tik, dengan
gandaran atau rol tempat kertas yang segede gaban, lha ini punya mesin tik juga
susahnya minta ampun, kok pengen pengennya jadi penulis gitu lho, apalagi bocah
yang berasal dari kampung
Mimpi
untuk menembus media ternyata harus menghadapi kenyataan,bahwa untuk jadi
penulis tidaklah mudah,butuh kesabaran,daya tahan tinggi,tidak mudah putus
asa,tahan lapar(lho kok?)sebab energi menulis membutuhkan asupan juga
ternyata,namun disaat susah, makanan seolah menjauh hehe,maka berbekal mesin
tik manual merk Simko super saloon 999 pemberian kakak,mimpi menjadi penulis
membuhul,dipertengahan tahun 90an,majalah fiksi ternama saat itu adalah Anita
Cemerlang,maka berondongan karya saya menuju kesana,tidak melalui pos namun
langsung ke redaksinya yang beralamat di Jalan Wolter Monginsidi nomor 19, Jakarta Selatan dan sekalian jalan jalan di kawasan
Blok M yang dahulu mah ngehits banget buat nongkrong.
Saya
yang dari kampung,menjejakan kaki di Jakarta sangatlah luar biasa walau
sebenarnya saya tidak tinggal di Jakarta namun di Bekasi. Berada dikerumunan kota Jakarta bagi anak kampung ternyata
cukup mengejutkan, mimpi itu memang harus diperjuangkan lho saudara saudara.
Nggak kejam sih ibukota tapi ketika penolakan bertubi tubi, tentu saja hati
siapa pun akan nelangsa menghadapi kenyataan yang terasa pahit.
Hampir
tiap bulan saya datang ke kantor majalah Anita Cemerlang,tak berputus asa,namun
pintu redaksi majalah Anita terlalu berat untuk dibuka,puluhan cerpen
saya ditolak namun ada hikmahnya juga bisa bertemu dengan salah satu
redaksi majalah itu,Mas Ganda Pekasih,walau cuma beberapa menit memberikan
saran namun bagi saya itu adalah kuliah sastra,dan ini membuat saya tetap
bersemangat.Namun fakta berbicara lain,majalah Anita Cemerlang tidak pernah
menerbitkan karya saya sebiji pun hingga majalah tersebut tak terdengar lagi
kabarnya hingga kini, beruntung ada beberapa cerpen yang dibalikin oleh
redaksi, namun sebagian tak tentu rimbanya, jangan jangan dipakai bungkus
gorengan tuh wkwkwk.
Diawal
2000 saya bertemu mas Dzakiron,dikontrakan sempit kampung Gardusawah,dia pun
ternyata penulis berasal dari pekalongan,ia pun punya mesin tik
juga,seolah ada api yang memantik,saya pun mulai menulis lagi,karya mas
Dzakiron terpublish di Annida,dia pun bangga,saya pun senang.Semangat menulis
semakin bergelora,namun teman debat,teman diskusi bernama Dzakiron asal
Paninggaran Pekalongan harus pulang kampung,sesekali kami saling berkirim
surat,di Pekalongan pun beliau eksis menulis di media lokal.Saya semakin
terlecut untuk menulis dan pada tulisan pertama,karya saya di muat di Annida,
saat itu majalah Annida adalah basis penulis dengan genre islami, pernah denger
Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvi
Tiana Rosa yang seakan menjadi legend di dunia fiksi islami, nah itu cerpen
pernah di muat juga di majalah Annida, penulis penulis Forum Lingkar Pena
adalah penulis yang kerap karyanya di majalah Annida.
Bagi seorang buruh, pencapaian menembus redaksi Annida
serasa dapetin nominasi piala Oscar hehe, senengnya sampai ke
ubun ubun,setelah gagal berkali kali,diberbagai media akhirnya ada media yang
menampung ide saya lewat tulisan fiksi,soal honor menjadi nilai kesekian walau
itu perlu juga,dan bangga rasanya saat majalah benar benar ditangan,akhirnya
tuntas mimpi panjang untuk bisa nampilin karya di media,bagaimanapun akhirnya
saya bisa berkarya dan diakui oleh redaksi bahwa karya yang saya kirimkan layak
muat,terima kasih Annida,penantian itu telah terjawab,DIMUAT!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar