Dulu
dua dekade lalu untuk membuat rumah tidaklah begitu sulit, dengan kekompakan
bersama, rumah impian pun akan terwujud, tetangga maupun kerabat akan bergotong
royong menyiapkan segala keperluan, ada yang menyumbang kayu, bambu, batu bata,
pasir, kapur dan beragam bahan bangunan lainnya, dan itu belum cukup, mereka
pun akan membantu mengerjakannya, dan berdirilah rumah impian.
Dan itu juga berlaku untuk hajatan, baik itu khitanan
atau pun pesta pernikahan, tanpa di minta dua kali, warga pun suka rela dan
bergotong royong menyiapkan keperluan pesta, ada yang membawa beras, ada yang
membawa daging, ada juga yang menyumbang kentang, selain itu dengan suka rela
kaum ibu dan perempuan bersiap dengan yang namanya ngobeng, dulu di tempat saya tinggal di sebuah desa kecil bernama
Rajawetan, tradisi ngobeng adalah kisah indah saling membantu demi lancarnya
sebuah hajatan.
Maka ibu ibu dan kaum perempuan akan membantu memasak
bagi si empunya hajatan, peralatan dapur yang bisa digunakan maka ikut dibawa,
ada yang membawa parutan, ada yang membawa kuali, ada juga yang sekedar membawa
pisau untuk mengiris bawang atau cabe, dan di dapur pun sangat sibuk dengan
macam aktifitas memasak, semua dilakukan
dengan senang hati dan tentu saja tidak dibayar alias gratis.
Itulah gambaran kebersamaan yang terpotret dibenak saya,
semua saling membantu dan semua peduli, belum lagi apa yang disebut oleh kami
yang bernama Jiwa, jiwa adalah
kegiatan gotong royong membangun fasilitas umum, bisa berupa merenovasi masjid,
membangun saluran irigasi ataupun gotong royong merapikan jalan untuk menuju
pemakaman, cukup pukul kentongan atau warga desa menyebutnya kokol dengan irama
tertentu maka para pria dewasa akan berkumpul dan tugas bersama segera
dilakukan.
Mencari Jiwa
Gotong Royong
Namun kini peristiwa itu sepertinya sulit ditemukan lagi,
entah kenapa,ada semacam pergeseran tentang gotong royong, di zaman yang kini
dikenal zamannya individual, gotong royong seakan menjadi asing, tak ada lagi
saling bahu membahu untuk bersama sama selesaikan kepentingan bersama, sekarang
cenderung di ukur dengan materi, sebesar apa rupiah yang akan di dapat maka di
situlah pekerjaan akan dituntas.
Padahal gotong royong adalah jiwa bangsa ini, mengapa
harus dilupakan? Mengapa kita seolah telah lupa dengan apa yang di ajarkan oleh
leluhur bangsa ini, belajar tentang kebersamaan yang kini rasanya telah lama
menghilang, ada sebuah benang merah yang terputus, kini dengan gerak laju
teknologi dan juga tentunya perubahan budaya yang terlihat begitu cepat, kita
seperti kehilangan sebuah ciri yang dulunya sangat melekat, ya gotong royong
seakan telah terlupakan.
Mahakarya
Indonesia bernama gotong royong adalah warisan jiwa yang
dititipkan oleh para leluhur bangsa, mereka telah banyak mengajarkan kebaikan
bergotong royong sebagai falsafah keseharian, saling bahu membahu baik dalam
suka maupun duka, saling berbagi dan saling tolong menolong, tak ada jejak
dendam dalam perilaku kehidupan, inilah sebenarnya yang semestinya kita
lestarikan bersama.
Ruh gotong royong dalam kontek kekinian semakin menguap,
entah apakah satu ketika konsep gotong royong dimasukan kedalam kurikulum
pendidikan kah? Sehingga nantinya anak anak zaman sekarang bisa mengerti betapa
luhurnya sebuah pemikiran dan tindakan para pendahulu bangsa tentang pentingnya
berperilaku dan berjiwa gotong royong.
Harapan
Tentang Masa Depan Gotong Royong
Inilah kesempatan yang dimiliki oleh bangsa ini untuk
menerapkan aplikasi gotong royong dalam kehidupan, biasanya bila diajarkan
semenjak dini maka lebih baik penerapannya, namun yang paling diingat
sebenarnya adalah contoh nyata atau contoh konkret, dengan melihat contoh maka
akan lebih mudah di tiru, rasanya kok berat bila saat ini, generasi yang lebih
muda melihat contoh baik dari kalangan tuanya.
Tapi bukan berarti kita semua putus asa, harapan akan
terus kita apungkan, gotong royong adalah contoh bijak bangsa ini untuk saling
berbagi dan mengasihi, masih ada waktu untuk membenahi karakter bangsa ini, dan
bisa jadi adalah gotong royong adalah role mode untuk bangsa ini agar lebih
kuat menatap tantangan masa depan.
Apalagi Masyarakat ASEAN telah didepan mata, bila tidak
saling bahu membahu niscaya bangsa ini akan menjadi lemah, di sinilah
diperlukan sebuah rasa gotong royong, saling menjaga, saling memikul beban,
karena kalau kita saling peduli maka sejatinya itulah budaya bangsa, jangan
sampai bangsa bangsa asing bermain penuh di pentas nusantara sedangkan bangsa
sendiri hanya cuma menonton saja.
Semakin dini di pupuk rasa kegotong royongan akan semakin
baik, bila memang dalam beberapa jenak kita melupakan falsafah kegotong
royongan, kini saatnya kita bersama mengaplikasikan rasa kegotong royongan itu,
di mulai dari hal yang kecil dulu, peduli dengan lingkungan sekitar, bersama
sama untuk membersihkan lingkungan secara bersama sama, dan bila dikerjakan
bersama biasanya tugas semakin ringan, bila kebersamaan semakin di suburkan
maka keniscayaan itu akan datang, benih benih jiwa bangsa bernama gotong royong
akan semakin kuat mengakar kembali.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk, dan sebuah
bangsa yang memiliki karakter yang begitu otentik, sayang sekali bila harus
meninggalkan sebuah Mahakarya Indonesia yang merupakan warisan budaya dan
semestinya kita lestarikan, para pendahulu kita dengan genial telah berupaya
membangun sebuah perilaku yang ciamik bernama gotong royong, sebuah tingkah
polah nan positif, sayang sekali bila kita melupakannya begitu saja.
Jangan sampai nantinya karena kita mengabaikan semangat
gotong royong, malah spirit itu diambil oleh negara lain dan ramailah kita
semua, ada permata yang hilang, jangan sampai itu terjadi pada bangsa ini,
sebuah semangat kebersamaan bernama gotong royong adalah soko guru, sebuah
pilar utama bagi bangsa Indonesia, bila kita telah melupakannya, maka semakin
dekatlah kepunahan dari pemikiran dan tindakan mutiara bernama gotong royong.
Jiwa Sejati,
Gotong Royong Inti Kebersamaan
Tak dapat dipungkiri, kemajuan zaman terkadang kita
melupakan hal hal yang teramat penting, roda zaman seolah menggilas sendi sendi
kehidupan, seakan tercerabut dari akar budaya lokal yang biasanya telah kita
ketahui sejak lama, masih ada waktu untuk membenahi segala kekurangan perilaku,
bukan saatnya lagi kita menyalahkan keadaan, namun semestinya kita mulai
memperbaiki cara kita memandang tentang keluhuran budaya bangsa sendiri,
hamparan luas nusantara yang terbentang mulai dari Aceh hingga Papua adalah
ladang harapan untuk meneruskan perilaku positif bangsa bernama gotong royong.
Sebelum benar benar nantinya ajaran adiluhung bangsa ini
benar benar tiada, ayo kita mulai dari sekarang, menata hidup kita menuju
kebaikan yang diwariskan, hilangkan keegoan kita sebagai manusia, sebagai
makhluk sosial tentunya kita punya empati, dan semoga khazanah nusantara tidak
benar benar lenyap di muka bumi pertiwi.
Bukankah gotong royong telah memberikan andil yang begitu
besar untuk merebut kemerdekaan dan juga mempertahankan kemerdekaan dengan
berdarah darah, dengan semangat gotong royong antara semua elemen masyarakat
akhirnya kemerdekaan bisa diraih, dan alam merdeka menjadi sebuah keniscayaan,
jikalau tak ada gotong royong, bahu membahu sesama anak bangsa, kata merdeka
seperti teramat sulit ditancapkan di seluruh pantai Indonesia, dan bahkan dalam
kontek pemerintahan di era modern, frasa kata gotong royong diambil untuk
menyebutkan nama kabinet.
Di zaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semangat
gotong royong terpatri dalam susunan kabinet yang dinamakan Kabinet Gotong
Royong I & 2, ini sebuah pertanda bahwa seorang kepala negara sekaliber SBY
mau menyematkan gotong royong dalam sebutan kabinetnya adalah satu penghargaan
tinggi untuk sebuah falsafah bangsa.
Maju terus Indonesia kamu, Indonesia saya, Indonesia kita
semua, semoga falsafah bangsa ini akan terus bermuara menjadi kebaikan individu
di sanubari semua warga Indonesia, dan pada akhirnya akan memberikan kebaikan
bagi seluruh komponen bangsa, meski berbeda beda kultur, berbeda suku, ras,
agama, namun kita disatukan oleh sebuah jiwa bernama GOTONG ROYONG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar