Dalam satu dekade terakhir ini,alhamdulillah saya selalu dilibatkan
dalam acara menyambut pesta ulang tahun Republik Indonesia, dan yang pasti satu
tempat untuk saya sebagai panitia adalah ngurusin lomba untuk anak anak, banyak
dari teman teman pengurus RT menganggap saya dekat dengan anak anak, maka tak
ayal lagi tugas sebagai panitia lomba akhirnya menadi tanggung jawab saya dalam
hampir sepuluh tahun terakhir.
Pada dasarnya memang saya suka
dengan dunia anak anak, sebuah dunia yang sangat begitu menggoda untuk di
sibak, kepolosan anak anak, keantusiasan mereka dalam menerima hal hal baru,
selalu membuat saya tertarik untuk menyelami dunia mereka, maka tak jarang saya
pun bermain dengan mereka, ikut dalam kegembiraan yang tak pernah direkayasa,
semua apa adanya. Namun ada beberapa hal yang patut direnungkan adalah terlalu
ikut campurnya orang tua dalam event perlomban yang justru dimainkan secara
gembira oleh anaknya, ada selubung selubung orang tua agar anaknya bisa juara,
bahkan sampai dalam kategori “harus”, ini yang menggelisahkan hati saya.
Dan lomba tujuh belasan baru saja berakhir, namun
kenangan akan berbagai lomba menyambut ulang tahun negeri tercinta ini selalu
menarik perhatian saya, karena di sini kesabaran akan teruji, bukan karena
pesertanya anak anak akan berbuat curang atau lancung, tidak pernah saya akan
berpikir para peserta lomba memanipulasi, justru tantangan terbesar adalah
bagaimana jalannya lomba menjadi bersih fair, dan yang menang pun memang
sepantasnya harus menang.
Saat Ortu
Malah Heboh Sendiri
Saya tinggal di sebuah komplek perumahan di kawasan
Cikarang, sebuah perumahan yang hampir sepuluh tahun saya tinggali, dan inilah
pengalaman berharga tentang perilaku orang tua saat mendampingi lomba putera
puteri mereka, biasanya lomba yang sering diadakan saat HUT Republik Indonesia
adalah lomba khas tujuh belasan, seperti balap karung, lomba balap kelereng,
makan kerupuk, memasukan pensil ke dalam botol, dibalik riuh rendahnya lomba,
diantara gelak tawa ceria bocah bocah peserta lomba, yang malah heboh adalah para
orang tua si anak, kadang ada perasaan miris saat melihat dengan mata kepala
sendiri betapa ada orang tua, mungkin saking semangatnya mendukung anaknya, ada
saja trik trik agar anaknya bisa memenangkan lomba, bila panitia tidak sigap
maka bersiaplah untuk kecolongan, sering kali orang tua malah membantu anaknya
untuk segera memenangkan lomba dengan cara yang memang bisa membuat anaknya
segera menuntaskan lomba, ada dengan cuek membantu anaknya untuk segera
menghabiskan kerupuk dengan cara memegang tali agar si anak bisa menghabiskan
kerupuk tanpa susah payah, ada juga yang secara terang terangan membantu
anaknya memasukan pensil ke dalam botol, dan ada yang bersegera menyebut
anaknya sebagai pemenang bila dalam waktu bersamaan ada anak yang sama sama
finish di perlombaan
.
Kalau masalah di omelin atau di maki maki sudah biasa,
saya sebagai panitia sudah cukup kebal menghadapi ‘galak’nya orang tua peserta
lomba, dari mulai main pelototan hingga adu omongan sudah sering dilakukan,
namun dari tahun ke tahun selalu saja ada orang tua yang mencoba mengintervensi
panitia lomba, kadang saya bertanya begitu pentingkah sebuah kemenangan itu,
sehingga seolah lupa bahwa dalam pertandingan memang ada kalah dan menang, dalam
hal ini mungkin orang tua lupa bahwa sportifitas haruslah di jaga, sehebat
apapun kemenangan kalau lewat jalur lancung tentu tidak elok khan?
Saat Anak
Dipaksa Ikut Aneka Lomba
Karena lomba tujuh belasan memang banyak kategori
perlombaan, mungkin bisa ada 5 atau enam lomba dalam satu hari, yang repot
adalah saat orang tua memaksa anaknya untuk ikut di setiap lomba, sekilas
memang tak ada yang salah dalam hal ini, sah saja sih asal bisa dijalankan oleh
si anak, namun seringkali anak menolak untuk ikut di semua event, tapi malah
orang tuanya tetap memaksa untuk si anak bertanding dalam berbagai lomba.
Dapat di tebak, rasa kelelahan terlihat jelas dari wajah
si anak, acapkali ada raut ketidaksukaan dari anak yang dipaksa untuk ikut
lomba, namun tampaknya si anak tak berdaya untuk membangkang dari perintah
orang tuanya, dan kalau begini ada saja cerita cerita unik, mulai dari yang
langsung ngambek dengan ogah ogahan saat berlomba, atau malah sengaja tidak
ikut sama sekali berlomba.
Di lingkungan perumahan, saya tak melulu ngurusin lomba
pas acara tujuh belas semata, ada beberapa event yang saya urus dalam lomba
lomba khusus anak anak, misalnya saat Ramadhan, ada event perlombaan untuk
bulan suci, ada juga perlombaan untuk memperingati hari hari besar keagamaan
seperti menyambut tahun baru Islam di bulan Muharam, peringatan Isra Mi’raj,
maka digelarlah aneka lomba, bisa jadi dalam satu tahun ada sekitar tiga atau
empat event lomba, dan anak anak pun antusias mengikuti, dan keantusiasan tercermin
dari para orang tua, pernah di satu ketika,ada lomba untuk memperingati hari
besar keagamaan, si orang tua meminta anaknya untuk ikut semua lomba, dengan
dalih agar anaknya terbiasa tampil dan berani.
Namun saat perlombaan usai, dan hasilnya si anak tak
memboyong satu gelar pun juara, si Ibu tampak marah, dan sepanjang jalan menuju
rumah, si anak tiada henti diomelin dan akhirnya si anak pun menangislah.
Pengalaman lain adalah betapa kecewanya si ayah saat
anaknya tak masuk hitungan juara, dan mencoba untuk mempengaruhi juri agar
anaknya bisa dimasukan ke dalam para pemenang, namun kami bersikukuh dengan
hasil lomba, karena kalau harus mengikuti keinginannya, buat apa ada
perlombaan, dan kami memutuskan untuk tidak memenangkan anak si bapak itu,
karena memang dalam perlombaannya anak tersebut tidaklah juara.
Apa Sih Yang
Dinginkan Orang Tua Terhadap Anaknya?
Terkadang setelah usai lomba, saat piagam maupun piala
telah dibagikan, ada seliweran pikiran nakal saya, apa sih yang di inginkan
para orang tua agar anaknya menang, apakah sebuah prestise yang dikejar, ataukah
popularitas, paling nggak untuk di komplek perumahan akan disebut bahwa ia
adalah ibu yang hebat karena anaknya langganan juara? Allahualam, atau
mungkinkah syndrom orang tua yang ngotot anaknya harus menang dalam lomba
menghinggapi lomba lomba yang gengsinya lebih besar dibanding lomba tingkat RT.
Apakah lomba lomba kecantikan atau lomba nyanyi para
orang tua akan berlipat ngototnya agar si anak menang, teringat jadinya akan
sebuah artikel di sebuah blog terkemuka, saya membaca tulisan Kang Maman
Suherman, sebuah artikel yang begitu relevan untuk konteks tulisan ini, di
artikel tersebut, Kang Maman memaparkan pernah ia di tawari oleh si ibu yang
anaknya berjuang untuk jadi model profesional, untuk hal itu si ibu rela
anaknya di tiduri oleh Kang Maman dengan imbalan agar anaknya di orbitkan,
Astagfirlah!
Senekad itukah? Sebenarnya yang punya ambisi anak atau
orang tua ya? Tentu saja yang bisa menjawab adalah orang yang bersangkutan, dan
secara norma umum tentu hal tersebut adalah tidak bisa dibenarkan, namun demi
ambisi maka apapun pasti akan dilakukan.
Biarlah
Kemenangan Mengalir Apa Adanya
Memberi kesempatan berlomba secara sportif adalah hebat(dokpri)
Sejujurnya, saya bukanlah orang yang beruntung dalam
perlombaan, meski telah berusaha keras namun kemenangan seolah menjauh, untuk
event lomba tujuh belas saat masih kecil, tak satupun titel juara mampir ke
saya, di saat teman teman merayakan kemenangan, saya hanya bisa tersenyum kecut
karena tak menjadi juara, kadang saya merasa iri dengan para pemenang lomba di
acara tujuh belasan, saat melihat anak anak berbinar mendapat bingkisan juara,
saat itulah kenangan akan terbawa, kenangan masa kecil yang tak pernah bisa
kesampaian, ya tak pernah juara lomba agustusan, hehehe.
Bagi orang tua mungkin harus lebih bijak untuk menerima
kekalahan anaknya, tak semua yang kita inginkan akan didapatkan, bila dalam
perlombaan skala kecil saja sudah diaarkan ketidaksportifan maka bisa bisa
dalam lomba yang lebih besar akan gila gilaan curangnya.
Biarkan saja kemenangan mengalir apa adanya, biarkan saja
anak anak berlomba dengan upaya yang ia rasakan, kalah menang urusan lain,
jangan dilihat hasil akhir yaitu juara, namun perlu juga diaarkan bahwa upaya
itu berawal dari sebuah proses, jika para orang tua sportif maka itu akan di
tularkan kepada anaknya, jiwa sportif memang harus ditancapkan lebih kuat lagi
di sanubari generasi penerus bangsa, jiwa yang sportif akan tumbuh bila ada
contoh yang baik dari pada orang tua.
Bila keluarga keluarga di Indonesia mendidik anaknya
berjiwa sportif, berlapang dada saat menerima kekalahan dan tak jumawa di saat
menang, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, Insya ALLAH akan
ditemukan pemuda pemudi yang lahir dan dibesarkan di Indonesia akan berjiwa
sportif dan menjunung tinggi kejujuran bahkan di lomba tingkat dunia sekalipun,
ajaran jujur tak akan lapuk di makan perputaran waktu.
Salam sportifitas bagi para orang tua, memenangkan
pertandingan memang menyenangkan namun memupuk kejujuran sejak dini tentu saja
menjadi hal luar biasa untuk kita semua, salam lomba dan tentu saja tak lupa
kita pekikan” Merdeka!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar